Kak Yurgen Alifia (Kiri), Kak Stela Clarisa (Tengah) dan Bu Netty Kalalo dari PPIA dalam sesi talk show. |
Sebenarnya postingan ini udah sempet gue share di Blog gue yang lain, yakni Tumblr. Tapi berhubung Tumblr terkadang angot-angotan dan gue sangat menyayangkan tulisan ini hanya menjadi sampah di Blog gue, ada baiknya gue repost lagi tulisan yang sangat berharga ini hahahaha.
So enjoy 🙂
Minggu ini adalah minggu yang gue nanti-nantikan. Kenapa? Karena ada dua hal yang sangat gue tunggu-tunggu kedatangannya. Hal pertama adalah akhirnya senin kemarin (4/5) gue sidang akhir saudara-saudara!! Setelah hampir empat tahun gue merasakan namanya kuliah akhirnya gue lulus juga dan menyandang status S.Ikom (Alhamdulillah ). Setelah berkutat dengan yang namanya Skrips***t eh maksudnya Skripsiiiii (HAHAHAHA) selama kurang lebih 6 bulan, di hari Senin kemarin gue akhirnya bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah gue kerjakan selama ini dan sudah berhasil melepas masa status lajang eeeehhh maksudnya status mahasiswa gue (HAHAHAHA, cerita lengkap tentang sidang akhir gue akan gue share di Blog ini. Tunggu aja ya).
Hal kedua yang gue nantikan adalah gue berhasil menghadiri (lagi) acara Press conference PPIA-VOA yang diadakan di Pacific Place yang terletak di daerah Sudirman, Senayan. Kok ada kata ‘lagi’? Iya karena tahun lalu gue juga berkesempatan datang ke acara yang sama dan di tempat yang sama pula (Cerita tahun lalu juga sempat gue share di blog ini, silakan dibaca kalo minat hehehe).
Sebelum masuk ke cerita inti ada baiknya kalian membaca sedikit cerita di bawah ini Check it out!!!
Di hari Senin (4/5) siang tengah hari bolong ada tiga orang cewek yang sedang duduk di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang lalu lalang sedang bekerja. Satu cewek sedang komat kamit berdoa semoga sidang akhirnya lancar hari ini (itu gue). Satu lagi cewek berkrudung yang sedang duduk di samping cewek yang sedang komat-kamit itu tadi sedang menikmati cemilan yang ada ditangannya (Tiara) dan cewek satu lagi yang sedang mainin handphonenya (Detta).
Satu jam sebelum gue sidang perkara, eh salah maksudnya Sidang akhir hehe, gue ngobrol-ngobrol sama 2 orang temen gue ini yang sedang menemani gue dengan setia sebelum akhirnya gue masuk ke ruang sidang akhir. Kira-kira begini obrolan kita :
Gue : Eh Rabu ini mau ikut gue ke Pacific Place gak? Tanya gue dengan penuh antusias setelah komat-kamit baca doa.
Tiara : Ngapain?
Gue : Mau nonton acara PPIA-VOA
Tiara : emang ada siapa aja?
Gue : Ada jurnalis Metro TV yang abis magang di Amerika, salah satunya ada Yurgen Alifia.
Tiba-tiba temen gue yang bernama Detta yang sejak obrolan gue ini terjadi dia lebih banyak mainin handphone nya, berdiri sambil kegirangan bilang “Ahhhhhhh gue mau ikut dong!!!” Ekspresi Detta seakan-akan mau ketemu sama idola nya hahaha, btw emang Detta udah pernah ketemu sama Kak Yurgen sebelumnya di acara yang sama tahun lalu bareng sama gue. Dan dia bilang dia kagum sama Kak Yurgen (eccciiiieeeeeeeeeee)
Gue : Yaudah ayo.
Tiara nanya lagi “ Emang di sana acaranya ada apa aja?”
Gue : Intinya kita ngedengerin cerita dari Yurgen Alifia yang setahun kemaren magang di VOA Washington DC, pengalaman dia apa aja dan juga nanti di kenalin sama jurnalis baru yang bakalan berangkat ke Amerika ngegantiin Yurgen Alifia itu. (Gilaaak tahu banget lo Ka!!!)
Tanpa banyak bertanya lagi Tiara mengiyakan untuk ikut juga sama gue dan Detta ke acara PPIA-VOA.
Cerita lengkapnya begini saudara-saudara
Rabu (6/5) akhirnya gue bisa nongol lagi di acara Press Conference PPIA-VOA Broadcasting Fellowship di Pacific Place Sudirman tepatnya di @america. Enggak ada yang berubah di @america, dia masih ada di lantai 3 Pacific Place. (Hahaha ya kali pindah ke Amerika beneran). Sekedar informasi @america adalah pusat kebudayaan Amerika, yang didirikan pada Desember 2010 dengan tujuan mengenalkan Amerika Serikat melalui diskusi, pertunjukan budaya, debat, kompetisi, dan pameran. Seperti tahun sebelumnya, gue tidak sendirian datang ke acara tersebut, gue pergi bersama teman gue. Berbeda dengan tahun sebelumnya, di mana gue cuma pergi berdua aja sama Detta tapi kali ini gue pergi dengan tiga orang (Detta, Tiara dan Netya).
Mungkin buat teman-teman yang belum pernah membaca tulisan gue tentang ini sebelumnya agak bingung, apasih itu PPIA, Broadcasting Fellowship? jangan sedih jangan gundah jangan ngamuk ya, gue akan menjelaskan sedikit tentang hal-hal tersebut kepada Anda saudara-saudara, sebangsa dan setanah air (Hahahahahaha).
Jadi PPIA itu adalah singkatan dari Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika didirikan tahun 1959 sebelumnya namanya bukan PPIA, tapi masih bernama LIA (Lembaga Indonesia Amerika) nah udah ketahuan dong dari namanya, kalo organisasi ini dibuat hasil kerjasama antara Indonesia sama Amerika untuk mendorong hubungan persahabatan antar kedua Negara. Salah satu hasil kerjasama antar Indonesia sama Amerika adalah program Broadcasting Fellowshipini. Yang gue tahu dari program ini Broadcasting Fellowship ini hasil kerjasama antara VOA yang ada di Amerika sama PPIA di mana dalam program ini jurnalis-jurnalis muda Indonesia yang punya pengalaman kurang dari tiga tahun yang berhasil lolos dalam proses seleksi akan dikirim ke Amerika untuk ‘magang’ selama satu tahun di sana. Kebayang dong gimana serunya pengalaman-pengalaman para jurnalis Indonesia yang udah berhasil ke Amerika berkat program ini.
Tapi jangan salah jurnalis yang berhasil lolos juga gak mudah untuk mendapatkan kesempatan emas ini, mereka harus melewati beberapa seleksi. Mulai dari seleksi administrasi, bikin essay, wawancara langsung dengan pihak PPIA dan VOA di Jakarta dan Wawancara langsung dengan pihak VOA di Wahington DC. (Banyak ya…….), belum lagi pelamar yang ingin mendapatkan program ini mencapai ratusan orang (yaiyalah siapa juga yang gak mau ngerasain kerja dan tinggal di Amerika???)
Terus apa hubungannya gue sama acara Broadcasting Fellowship itu?
Emang gak ada hubungannya, tapi gue sebagai salah satu fan berat dari VOA, pengin banget jadi jurnalis dan salah satu orang yang punya mimpi bisa ke Amerika merasa sangat sedih banget kalo gue gak datang ke acara yang bermanfaat at least buat gue hehehehehe (ya walaupun baru dua kali datang sih hahaha)
Eh nanti dulu, tadi gue bilang gue adalah fan berat dari VOA? Emang kenapa gue bisa suka banget sama VOA? Jadi gini saudara-saudara, awal mula gue tahu VOA (Voice Of America) itu SMP kalo gak salah gara-gara acara Dunia Kita. Duh apa lagi tuh? Tenang-tenang, gue gak pelit informasi kok. Jadi Dunia kita itu adalah salah satu program yang isinya berupa liputan tentang warga Indonesia di Amerika Serikat, tapi gak cuma itu juga ada liputan dari mancanegaranya. Tapi sayang tayangannya cuma berdurasi 30 menit dan kadang suka berubah-ubah jam tayangnya. Dulu gue nonton Dunia Kita itu masih dibawain sama Mbak Ariadne Budianto (salah satu host VOA favorit gue) sama Mbak Susi Tekunan. Sampe Dunia Kita dibawain sama Mbak Anne dan Kak Yurgen Alifia masih tetep gue tonton karena saking sukanya gue sama acara-acaranya VOA. Terus sekarang juga ada acara yang bisa terbilang baru yaitu VOA Pop News yang dibawain sama Ian Umar dan Debbie Summual Patlis di Jak TV setiap hari minggu jam 15.30 sore.
Karena dari kecil gue udah dijejelin sama film-film Hollywood sama bokap gue (tenang bukan film-film yang tidak seharusnya gue tonton pada saat itu kok hahaha) dan gara-gara film Hollywood yang keren-keren itu dari kecil sudah tertanam di kepala gue kalo Amerika itu kereeeeeeeeeeeennnn buaaangeettt. Nah makanya sejak gue tahu kalo ada tayangan yang menampilkan cerita dari Amerika, berita dari Amerika and all about America gue langsung jatuh hati lah sama VOA.
Balik lagi kecerita inti, kali ini gue gak datang terlambat seperti tahun lalu. Gue datang on time bahkan sebelum acara di mulai gue sudah menginjakan kaki di Pacific Place dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Nah para mantan fellow (sebutan bagi para peserta Broadcasting Fellowship yang lolos dan berkesempatan ‘magang’ di VOA Wahington DC) yang datang lebih sedikit dari pada tahun lalu hehehehe. Kalo tahun lalu itu ada Kak Kartika Octaviana, saat ini Kak Vina bekerja di Metro TV dan alumni dari UI. gue suka sama cara Kak Vina membawakan berita, cara bicaranya enak terus cantik dan ramah pula lagi. hehehe. Terus ada Kak Rafki Hidayat, dia juga pernah kerja di Metro TV, tapi sekarang dia udah pindah ke Bloomberg (informasi ini gue tanyakan langsung ke orangnya lho hahahahahaha), menurut gue kalo Kak Rafki membawakan liputan pasti selalu semangat, apa lagi pada saat bawain acara VOA, bawain acara selalu semangat, jadi penonton juga antusias kalo nonton acaranya dia. ada Kak Retno Lestari, Nurina Safitri dan Yurgen Alifia juga yang saat itu adalah fellow yang akan berangkat ke DC.Kak Yurgen juga alumni UI, orangnya gigih banget lho, kenapa gue bisa bilang kayak gitu, karena dia itu sampe 3 kali ikut seleksi PPIA-VOA ini, kebayang dong betapa niatnya dia buat ngedapetin kesempatan ini.
Di pertemuan kemarin mantan fellow yang hadir ada Kak Vina, Kak Rafki dan pastinya Kak Yurgen yang baru kembali dari Amerika (Alhamdulillah akhirnya balik juga haha). Terus siapa dong jurnalis yang menggantikan Kak Yurgen? Gue????? (Penginnya hahahahahahaha). Dia adalah Maria Stela Clarisa Nau yang juga merupakan jurnalis dari Metro TV. Kak Stela ini lulusan dari Universitas Parahyangan Bandung dengan jurusan Hubungan Internasional.
Acara dimulai dengan pembukaan pemutaran video dari Kak Yurgen yang isinya kegiatan-kegiatannya di sana, liburan dia ke Chicago dan pengalaman-pengalaman lainnya yang bikin gue doa dalam hati pas lagi nonton videonya ‘Ya Allah semoga Eka bisa ke Amerika dan kerja di VOA suatu saat nanti. Aamiin. Dan ada sambutan dari Ketua PPIA, Bapak Rudy J.Pesik, lalu ada kata sambutan juga dari Direktur VOA Jakarta, Bapak Frans Padak Demon, nah pastinya sesi yang gue tunggu-tunggu adalah di saat Kak Yurgen Alifia dan Kak Stela membagi cerita mereka. Sayangnya waktu disesi ini sangat sedikit sekali jadi cerita yang di share kurang banyak hahahaha. Dan sesi tersebut juga dibuka sesi Tanya jawab. Mendapatkan kesempatan itu gue tidak menyia-nyiakannya. Gue mengajukan pertanyaan langsung ke Kak Yurgen terkait dengan perbedaan bekerja menjadi jurnalis di Amerika dengan di Indonesia dan juga gue sempat bertanya berapa lama proses penyeleksian sampai akhirnya terpilih menjadi fellow. Menurut jawaban dari Ibu Netty Kalalo (PPIA) proses seleksi dari proses administrasi hingga terpilih menjadi fellow dari Bulan November sampai April lama jugaaa yaaa.)
Dan gue tidak menyia-nyiakan moment tersebut, gue sempat berfoto-foto dengan mantan fellow.
Ini dia foto-foto di acara kemaren.
Gue bersama Kak Kartika Octaviana (Jurnalis Metro TV dan fellow tahun ke empat) |
Direktur VOA Jakarta, Bapak Frans Padak Demon saat memberikan kata sambutan kedua. |
Penandatangan MoU antara Kak Stela Clarisa dengan PPIA & VOA |
“Hah??? lo mau ketemu sama jurnalis dari Amerika?” Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman gue di hari selasa tengah hari bolong.
terus gue jawab “Iya, jurnalisnya dari Amerika.” jawab gue sekenanya.
“Maksud lo bule?” tanya temen gue lagi.
“Bukan.” Jawab gue sekenanya lagi.
“Terus?”
“Dia jurnalis Indonesia, tapi baru balik dari Amerika.”
“Ohhh, cewek atau cowok? cakep?”
“Cowok! Belum tahu. belum liat aslinya.”
“Namanya siapa?”
“Rafki Hidayat.”
“Siapa tuh?”
“Jurnalis.”
“Iya gue tahu, tadi lu kan udah cerita.”
“Kalo mau tahu, besok ikut gue aja ke Pacific Place.”
“Oke.”
percakapan di hari selasa pun selesai!
Dan cerita lengkapnya pun dimulai.
Rabu (23/4) adalah salah satu hari yang cukup membuat gue sangat gembira. Kenapa? karena gue bisa bertemu dengan para jurnalis hebat dari Amerika yang dimiliki sama Indonesia (ceillah bahasa gue kaya orang bener HAHAHA!). Ditemani oleh teman gue Detta akhirnya rencana buat datang ke acara Press Conference PPIA-VOA Broadcasting Fellowship yang diadakan di @Atamerica Pacific Place Sudirman yang sudah gue agendakan sejak tahun lalu akhirnya terwujud. Setiap tahunnya VOA Indonesia yang bekerja sama dengan PPIA (Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika) membuka kesempatan bagi jurnalis muda Indonesia untuk bekerja di VOA Washington DC Amerika (Weiitsss jangan shock gitu dong). Dan sayangnya dari sekian Press Conference PPIA-VOA Broadcasting Fellowship, baru kemaren gue bisa dateng 😦
‘Emang kenapa sih pengen banget ke sana?’ Alasannya adalah gue pengen ketemu sama para mantan fellow (sebutan bagi para peserta VOA Broadcasting Fellowship yang berhasil lolos seleksi dan berkesempatan bekerja di VOA Washington DC) dan pastinya pengen denger cerita-cerita seru dari para Fellow. Gue beruntung kemarin bisa bertemu sama empat mantan fellow diantaranya ada Nurina Savitri, Retno Lestari, Kartika Oktaviana dan juga enggak ketinggalan Kak Rafki Hidayat yang baru hari senin kemarin balik ke tempat asalnya the one and only Indonesia tercintaaaahhh ;).
Sayangnya kemarin gue telat dateng, seharusnya gue sampai jam 2 di sana tapi karena terhalang oleh penyakit Jakarta yang sudah akut apalagi kalo bukan MACET! Gue baru sampai jam setengah tiga lewat. Sesampainya gue di @atamerica gue disambut dengan video dari Kak Rafki yang isinya mempertontonkan kesenangan dan kegiatan-kegiatan yang luarrrrrr biassaaaaaaahhh yang dia alami selama satu tahun di sana (DAN BERHASIL MEMBUAT SELURUH YANG HADIR DI TEMPAT ITU ENVY MAMPUSS TERMASUK GUEEEEEHH! ).
Setelah ada tayangan itu Kak Rafki membagi pengalamannya selama satu tahun di sana dan Yurgen Alifia (Fellow yang terpilih tahun ini) menceritakan betapa antusiasnya dia untuk bisa kerja di VOA (Yaiyaaaaalaaah). Intinya dari session interview kemaren gue bisa mengambil suatu kesimpulan kalo kita mau meraih sesuatu harus berjuang dan kalo gagal coba lagi. Ini gue dapetin dari cerita kak Yurgen yang ternyata sudah pernah dua kali melamar di program Broadcasting Fellowship ini, dan baru ketiga kalinya ia diterima. Sebenarnya gue cukup sering melihat Kak Yurgen melaporkan berita di Metro TV, dan pada saat kemaren gue tahu dia yang menang gue udah ngenalin mukanya (hahaha sok akrab!).
Mau cerita sedikit tentang Kak Rafki haha (maaf ya kak kalo ada yang salah akibat kesotoyan gue), Kak Rafki Hidayat juga merupakan reporter Metro TV dan fellow angkatan ke enam ini lulus dari ITB di jurusan matematika (enggak nyangka orang lulusan matematika tapi orangnya enggak seserius jurusannya, kelihatan dari setiap video yang ada dia, dia selalu penuh dengan ekspresi alias GOKILLLL ! ). Selain itu dia juga berdarah minang. Kesimpulannya adalah dia udah terbiasa merantau, dari Padang, ke Bandung dan nyangkut di Amerika dan Alhamdulillah balik lagi ke Negara asal hahaha).Dan kalo enggak salah tidak hanya bisa bahasa Inggris tapi dia juga bisa bahasa Prancis (Sungguh terlalu hahaha). Ada kesamaan antara gue sama Kak Rafki, menurut cerita dia kemaren, dia dari SMP udah pengeeeeennn banget ke Amerika dan kerja di VOA, bahkan sejak SMP dia juga selalu nonton acara Dunia Kita dan honestly itu juga yang menjadi impian gue dari SMP pengeeeen banget ke Amerika dan kerja di VOA Washington dan gue juga udah ngikutin Dunia Kita dari mulai Dunia kita masih dibawain sama dua host andalannya yakni Mbak Ariadne Budianto sama Mbak Susi Tekunan sampai yang terakhir Dunia Kita dibawain sama Mbak Ariadne Budianto dan juga Kak Rafki. Dan satu lagi kesamaan gue sama dia, Kak Rafki dulu punya keinginan sehabis lulus kuliah pengen kerja di Metro TV dan Alhamdulillah sekarang tercapai.itu pula yang gue inginkan ketika gue lulus kuliah nanti.
Gue adalah penggemar berat acara VOA Indonesia, dari semenjak gue SMP sampai gue kuliah saat ini, gue masih sangat setia mengikuti acara VOA Indonesia. Mulai dari acara yang dulunya ada sampai sekarang udah enggak ada lagi (lebih tepatnya diganti oleh acara VOA Indonesia yang lain) contohnya, seperti acara VOA Pop Notes yang dulu ditayangkan di Jak TV setiap minggu sore yang dibawain sama Kak Vivit Kavi dan suaminya Irfan Ihsan. Acara VOA Pop Notes itu adalah acara gaya Hidup di Amerika Serikat lewat mata anak muda di Amerika.
Nah sekarang diganti sama acara VOA Career Day, yang tayang setiap hari minggu jam 15.00 WIB di Jak TV. Gue hampir enggak pernah ketinggalan nonton acara itu setiap minggunya (ya walaupun kadang-kadang tayangan ulang sih hahaha tapi tetap gue tonton :)), belum lagi dengan acara Dunia Kita yang tayang di Metro TV (terakhir yang gue tahu tayang setiap hari kamis dalam Wideshot Metro TV) dan masih banyak acara-acara VOA Indonesia lain di berbagai stasiun TV Indonesia.
Moment pertemuan gue dengan para fellow tidak gue sia-siakan. Gue sempat sedikit ngobrol-ngobrol dan berfoto-foto dengan mereka dan mereka sangat ramah dan pastinya enggak pelit informasi soal Broadcasting Fellowship ini. Gue sempat ngobrol sama Kak Kartika Oktaviana yang merupakan mantan fellow angkatan keempat (kalo enggak salah) yang juga bareng sama Mahatma Putra dan sekarang bekerja di Metro TV juga. Kak Vina pernah kerja di Kompas TV, dan di Sun TV juga (udah banyak ya pengalamannya). Kalo mau liat Kak Vina nongol di Metro TV tonton aja deh acara Bincang Pagi Metro TV jam 6-8 pagi bareng sama Kak Rory. Kak Retno Lestari mantan fellow angkatan ke lima yang sekarang bekerja di Kompas TV dan dia megang acara olah raga. Kak Vina dan Kak Retno ini sama-sama lulusan UI. Gue sempet nanya ke mereka tips buat bisa kaya mereka gimana dan inilah kata mereka “Yang penting harus bisa bahasa Inggris dan juga banyak baca.” Nah itu pesan-pesan yang sebenarnya cukup sederhana dan harus gue perdalam baik bahasa inggris dan juga memperbanyak pengetahuan.
Dan pasinya gue juga bertanya pada Kakak yang baru saja menyandang status baru “mantan fellow” Kak Rafki Hidayat. Gue sempet nanya tes apa saja yang harus dilalui untuk bisa keterima jadi fellow, dan ia berkata ini saudara-saudara “Tesnya itu essay ada wawancara juga sama orang VOA Indonesia di Jakarta dan DC, dan tes lain-lainnya.” Dan macam-macam pertanyaan lainnya yang gue tanyakan ke dia. Sebenarnya masih banyak sih pertanyaan yang pengen gue tanyain, tapi berhubung banyak teman-teman sejawatnya yang kangen sama dia, kemarin itu dia juga sibuk berfoto-foto. Hahaha.
Pokoknya pengalaman kemarin itu pengalaman yang luar biasa (walaupun gue cuma bisa ngobrol sebentar sama mereka tapi itu sudah menumbuhkan motivasi buat gue yang harus ingat dan percaya sama mimpi! Thank you Kak Rafki, Kak Vina dan Kak Retno buat short sharing nya. :’)
Ini dia hasil foto-foto gue dengan para Fellow (Jurnalis-Jurnalis Hebat dari Amerika ! )
Sumber: Unsplash.com |
Sebelum saya cerita soal pengalaman saya menjadi Content Writer (CW), saya mau kasih tahu dulu soal bedanya Content Writer sama Copywriter. Soalnya masih ada sebagian orang yang nganggep kalau kedua posisi ini memiliki tugas yang sama. Untuk yang belum tahu, perbedaan kedua posisi ini, mereka sebenarnya serupa tapi tak sama.
Content writer itu orang yang menulis atau yang menyediakan konten untuk web atau brand. Biasanya artikel yang dibuat bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca. Seringnya kalau Content writer itu nulis tentang artikel tips. Intinya artikel yang dibuat harus informatif, edukatif, dan menarik, tapi harus dikaitkan juga sama brand-nya dengan memasarkan brand se-smooth mungkin (soft selling).
Kalau copywriter tugasnya bikin tulisan sepersuasif mungkin untuk membuat pembaca tertarik dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan. Pokoknya bikin tulisan pemasaran produk atau iklan (hard selling).
Saya kurang lebih sudah 11 bulan 12 hari (diitungin banget:P) menjalani pekerjaan seorang CW di digital agensi di daerah Jakarta. Awalnya saya bisa nyemplung di dunia digital agensi berkat teman saya yang ngajak untuk masuk kantornya karena waktu itu emang lagi perlu CW tambahan.
Saat itu, saya emang lagi menganggur, karena resign dari tempat kerjaan yang lama. Jadi pas ada tawaran kerjaan yang menurut saya cocok dengan saya, langsung saya meng-iyakan tawaran teman saya itu. Saya enggak tahu ya, apakah rata-rata proses recruitment di setiap kantor digital agensi enggak seribet kantor atau pekerjaan lainnya kayak media, PNS, atau bidang lainnya yang mengharuskan mengikuti beberapa tahap seleksi kayak psikotes, wawancara HRD, wawancara user, tes kesehatan, FGD, dan lain-lain. Karena waktu saya mau masuk jadi karyawan di tempat yang sekarang, saya langsung diwawancara sama user-nya, dua orang (Editor and Content Strategist dan Head of SEO) sekitar bulan Oktober 2016.
Sayangnya, pas saya masuk, Editor and Content Strategist-nya udah resign dan dua minggu setelah saya masuk Head of SEO-nya juga resign. Kalau yang saya denger sih mereka resign karena pada mau bikin usaha sendiri. Cuma enggak tahu deh ini bener apa enggak. Hehehe. Kalau kata teman-teman saya yang udah lama kerja di digital agensi, rata-rata di ‘dunia’ ini turnover-nya tinggi banget. Dalam setahun bisa lebih dari 10 karyawan yang resign dan masuk. Ya tapi, hilang satu, dua, tiga, perusahaan bisa nyari lagi satu, dua, tiga, empat, lima, dan sebanyak yang mereka mau. hahaha.
Oke balik lagi ke topik. Saya enggak langsung kerja setelah melalui proses wawancara itu, saya diminta untuk menjadi freelancer dulu selama 3 bulan. Saat itu, buat saya yang memang lagi nganggur dan perlu uang, saya mau-mau saja ditawarin jadi freelancer dulu. Saya mikirnya positif aja, karena saya juga belum ada pengalaman banyak soal dunia tulis di bidang digital. Jadi emang butuh waktu untuk ngebuktiin ke mereka soal kebisa-an saya nulis. Mungkin. Hahahha. Masuk ke bulan Januari 2017, saya dapat kabar kalau saya diterima di kantor yang sekarang buat jadi SEO Content Writer. Wah denger itu saya langsung seneng pake banget.
Jujur, saya buta banget sama yang namanya dunia digital. Saya memang sebelumnya sudah suka nulis di blog pribadi dan di tempat kerja saya yang lama, kerjaan saya juga ada kaitannya sama nulis juga, cuma lebih ke nulis soal kegiatan kampus buat kepentingan website kampus. Di dunia digital, khususnya SEO saya enggak tahu apa-apa. Saya belajar dari nol (sampai saat ini masih belajar juga, karena SEO itu banyak banget tekniknya). Waktu itu saya cuma tahu, SEO itu bisa bikin sebuah situs ada di urutan nomor satu Google. Tapi saya enggak tahu aturan bikin artikel SEO itu kayak gimana.
Mungkin ada yang nanya, kan katanya Eka udah pernah jadi freelancer selama 3 bulan, masa iya belum tahu nulis artikel SEO kayak gimana? Menurut saya enaknya jadi freelancer adalah enggak banyak aturan. Waktu saya jadi freelancer, di-brief untuk nulis klien MAP, mereka cuma bilang ‘bikin artikelnya yang penting per artikel terdiri dari 500 kata, jangan copy-paste, hindari typo, sumber bisa dari mana saja, masukkan keyword sebanyak 1 persen dari 500 kata (berarti 5 keyword dalam 500 kata)’. Sudah gitu saja. Maklum namanya freelancer kan pasti tulisannya bakal diedit lagi sama editor. Hehehe.
Pas saya jadi SEO CW beneran, ternyata nulis artikel SEO enggak semudah itu. Ada aturannya kayak di judul, meta description harus dimasukkin keyword. Judul enggak boleh lebih dari 60 karakter, meta description enggak boleh lebih dari 160 karakter, gitulah pokoknya. Udah gitu, pas saya masuk jadi karyawan, editor yang harusnya ada malah resign. Jadi kerjaan saya double, nulis juga, ngedit tulisan sendiri juga. Emang sih di kantor saya ada yang namanya SEO Project Management, posisi-nya ini lebih kepada ngatur jatah berapa banyak seorang CW nulis artikel setiap bulan, ngatur jatah backlink, dan lain-lain. Semenjak editor enggak ada, si SEO Project Management membantu juga ngedit tulisan saya, tapi kan pasti enggak se-detail editor yang sesungguhnya hehehe.
Sesuai sama judul saya ‘Enak – Enggaknya Jadi Content Writer di Digital Agency’, berikut enak dan enggak-nya yang saya alami selama 11 bulan 12 hari.
Enak-nya Jadi Content Writer di Digital Agensi
1. Ada rasa bangga kalau tulisan kita diposting di website klien, apalagi kalo tulisan kita banyak yang baca dan ada di halaman satu Google. Salah satu klien yang saya pegang saat ini adalah klien yang ngebahas soal ajang olahraga yang sebentar lagi mau diadain di Jakarta dan Palembang. Klien ini sebenarnya cukup ribet karena pengin tulisan yang dibuat itu bagus banget, kayak tulisan portal-portal situs olahraga di website luar negeri dan harus detail.
Buat saya, ini tantangan sih. Karena saya harus melakukan riset lumayan lama buat bikin satu artikel. Kebetulan kliennya cukup detail soal data-data kayak cabang olahraga, prestasi atlet, dan lain-lain dan banyak maunya, enggak boleh nulis tentang ini -itu, jangan pakai kata ini-itu, dan lain-lain. Kalau kata atasan saya, artikel SEO itu enggak mesti cantik kayak artikel di majalah atau bikinan kayak tulisan advertising agency. Yang penting ada keyword, tulisannya nyambung, dan enggak banyak typo. Tapi kan susah juga ya, klien ini nuntut kita buat nulis artikel sebagus dan sedetail mungkin. Jadi bikinnya juga enggak bisa cepet-cepet. Ya kadang ngomong doang emang gampang, tapi pas dikerjain enggak semudah yang diomongin :’)
2. Jadi nambah ilmu tiap hari. Karena nulis artikel buat klien enggak bisa asal jadi, saya harus riset dulu kalo mau nulis. Otomatis saya jadi tahu kan soal topik yang saya mau tulis dan nambah wawasan juga sedikit demi sedikit.
3. Traktiran dari klien. Enaknya lagi nih¸ kadang suka dapat traktiran makan dari klien. Emang enggak tiap bulan sih. Tapi lumayan lah bisa makan enak. Terakhir saya makan di Abuba Steak di Senopati, ditraktir makan steak yang kalau saya beli sendiri, saya pasti mikir-mikir buat belinya. Cuma karena ini traktiran, otomatis bisa pesen yang mana saja. Hehehe.
Enggak Enaknya Jadi Content Writer di Digital Agensi
1. Sering pusing, sakit punggang, leher dan tangan pegal. Ya, saya sering pusing saking banyaknya artikel yang saya tulis. Sebulan bikin 80 artikel untuk 4 sampai 5 klien yang berbeda-beda, bahkan pernah 7 klien sebulan, gimana enggak pusing? Dalam sehari kadang saya bisa ngerjain 2 sampai 3 klien yang beda-beda. Satu soal HP, satu soal lifestyle, satu tentang biskuit, dan lainnya. Selain itu, jadi CW itu kan kebanyakan duduk.
Tangan dan leher jadi sering pegal. Koyo adalah benda yang selalu ada di laci kerja saya. Kalau lagi kerja, tapi tangan lagi pegal, ya saya ngetik dengan tangan ditempelin koyo. Mending kalau tangan doang yang pegal, kalau leher sama punggung juga lagi pegal yaudah saya kerja dengan tiga tempelan koyo di badan 😦
2. Klien banyak maunya. Paling kesal kalau ada klien yang banyak aturan dan banyak mau. Saat ini saya megang klien biskuit buatan luar negeri yang katanya sih enggak dijual di Indonesia. Mereka punya standar tinggi banget kalo soal pemilihan gambar buat artikel yang saya buat. Setiap saya ajukan gambar, mereka sering nolak dan bilang gambarnya kurang menarik. Saya sudah cari di Google bahkan hingga ShutterStock (situs gambar berbayar) kadang itu masih enggak di approved.
Pas ditanya, mau gambar kayak gimana, mereka cuma bilang cari gambar yang elegan, mewah, dan sesuai-in sama produknya. Bingung enggak tuh? Kan selera saya sama mereka kan beda ya. Saya kadang bisa cuma cari satu sampai dua gambar itu lebih dari satu jam, gara-gara biar sesuai sama yang klien mau.
3. Mengira seorang content writer itu tahu semua hal. Menghadapi klien emang harus sabar sih. Secara klien itu raja kan? (Begitu kata bos saya dan bos-bos lainnya hahaha). Tapi kata-kata ini saya enggak suka. Justru menurut saya malah bikin klien ngelunjak. Saya pernah menghadapi klien yang banyak enggak tahunya kalau ditanya. Wajar dong kalo saya tanya soal product knowledge-nya, masa iya perusahaan enggak ada product knowledge-nya, atau at least press release-nya gitu. Tapi mereka bilang enggak ada.
Si klien malah nyuruh saya cari di Google. Emang sih klien ini udah punya nama di Indonesia maupun Asia. Jadi mereka nganggep-nya semua informasi tentang brand mereka ada di Google. Kayaknya impossible banget kalo mereka enggak punya product knowledge tentang produk mereka sendiri, iya kan? Ini mah alasan mereka saja kali, enggak mau susah nyari di data base mereka. Malah bikin susah orang lain. (sabar kan aku ya Allah :’)). Di website resmi mereka katanya ada soal produknya. Iya memang ada, tapi cuma dikit banget. Itu juga informasinya enggak sampai 200 kata kali! Jadi mereka cuma ngasih guideline seadanya tapi minta saya bikin artikel se-cakep mungkin. Katanya referensi bisa dari mana saja. Tapi kalau saya salah nulis, saya dimarah-in dengan kata-kata yang lumayan bikin elus-elus dada.
4. Banyak orang yang menilai jadi CW itu kerjanya gampang. Saya paling sebal kalau ada yang bilang, "Jadi CW itu gampang, kan udah ada referensinya di Google, tinggal riset dikit, tulis pake kata-kata sendiri, masukin keyword, asal jangan copas jadi deh artikel SEO. Jadi enggak usah capek-capek mikir". Pikiran ini bukan cuma dari teman-teman saya yang tidak menjadi CW maupun yang tidak bekerja di agensi digital, tapi orang-orang di kantor saya pun ada beberapa yang menganggap enteng pekerjaan CW.
Saya yang dengar kata-kata itu, biasanya langsung bilang ‘mending lo rasain deh satu hari aja jadi CW kayak gimana. Rasain gimana pusingnya ngerangkai kata, yang cuma berdasarkan dari 2-3 kata keyword tapi lu harus kembangin jadi 500 kata. Yang ada lo mungkin langsung ajuin surat resign.’ Saya sampai seketus itu, karena kesel banget. Hahahha. Maap yak.
5. Sering bawa kerjaan ke rumah. Kadang weekend enggak berasa. Saya sering banget kerja weekend di rumah. Ini biasanya terjadi karena di weekedays saya ngerjain revisi dari klien, bahan buat bikin artikel susah dicari, ada meeting sama klien, atau datang ke event klien yang bisa dimasukin buat bikin artikel. Jadi otomatis, waktu saya buat ngerjain artikel berkurang. Bisa aja sih dikerjain pas weekdays selanjutnya, tapi otomatis akan mempengaruhi jadwal pekerjaan saya buat mengerjakan artikel lainnya.
Itu dia cerita pengalaman saya kerja menjadi CW digital agensi. Terlepas dari enggak enaknya jadi CW, Buat kamu yang emang passion banget di dunia tulis dan tertarik sama dunia digital, jadi CW bisa banget jadi salah satu pilihan buat ngembangin kemampuan nulis dan gajinya juga lumayan (Yang pasti di atas UMR :p). Selain itu, naik jabatannya juga lumayan cepat (kalo kerja-nya bagus). Tapi ya, emang banyak banget yang resign dan masuk jadi karyawan baru. Karena rata-rata yang kerja di digital agency itu anak-anak yang masih muda yang masih mau banyak-banyakin pengalaman dan enggak mau cepat puas (katanya sih gitu).
Jadi buat kamu yang mau mengembangkan karir di dunia digital, digital agensi bisa jadi tempat belajar yang bagus banget buat membentuk mental, networking, ilmu, dan lain-lain. Oh iya, maaf ya kalau kepanjangan ceritanya 🙂
Semoga bermanfaat!